Beranda | Artikel
Hukum Ayah Mencium Putrinya
17 jam lalu

Hukum Ayah Mencium Putrinya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Al-Adabul Mufrad. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. pada Senin, 3 Jumadil Akhir 1447 H / 24 November 2025 M.

Kajian Islam Tentang Hukum Ayah Mencium Putrinya

Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah hadits sebagai dasar hukumnya.

Hadits Riwayat Aisyah, Ummul Mukminin

Transkrip ini memuat hadits yang diriwayatkan melalui jalur sanad: Muhammad bin Al-Mutsanna, Utsman bin Umar, Israil, dari Maisarah bin Habib, dari Al-Minhal bin Amr, dari Aisyah binti Thalhah, dari Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘Anha. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ حَدِيثًا وَكَلَامًا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا، فَرَحَّبَ بِهَا وَقَبَّلَهَا، وَأَجْلَسَهَا فِي مَجْلِسِهِ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ، فَرَحَّبَتْ [بِهِ] وَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِي مَجْلِسِهَا، فَدَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي مَرَضِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ، فَرَحَّبَ بِهَا وَقَبَّلَهَا.

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip gaya bicaranya dan tutur katanya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam daripada Fatimah. Apabila Fatimah datang menemui beliau, beliau akan berdiri menyambutnya, lalu menyambutnya dengan hangat dan menciumnya, serta mendudukkannya di tempat duduk beliau. Dan apabila beliau yang datang menemuinya, Fatimah akan berdiri menyambut beliau, memegang tangan beliau, lalu menyambutnya dengan hangat dan mencium beliau, serta mendudukkan beliau di tempat duduknya. Kemudian Fatimah datang menemui beliau pada saat sakit yang menyebabkan beliau wafat. Beliau menyambutnya (meskipun tidak bangun) dengan hangat dan menciumnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Hukum Mencium Mahram

Hadits di atas menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium putrinya, Fatimah Radhiyallahu ‘Anha, sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan. Para ulama menjelaskan ketentuan mencium mahram (seperti putri, ibu, saudara perempuan, bibi) sebagai berikut:

Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai kebolehan seorang pria mencium mahramnya. Beliau menjawab, “Boleh, jika dia datang dari perjalanan dan tidak mengkhawatirkan fitnah terhadap dirinya.”

Ibnu Muflih menyatakan, “Akan tetapi, dia tidak boleh melakukannya di bibir sama sekali.” Ciuman yang diperbolehkan adalah pada kening atau kepala.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki mencium mulut laki-laki lain, atau mencium tangan, atau bagian tubuhnya, demikian pula wanita terhadap wanita, atau memeluk dan mendekapnya, apabila hal tersebut dilakukan dengan syahwat. Ulama sepakat bahwa perbuatan ini diharamkan jika disertai syahwat.

Apabila tujuan mencium adalah untuk berbuat baik, menunjukkan kasih sayang, memuliakan ketika berjumpa, atau ketika berpisah, dan dilakukan bukan pada mulut, maka hal itu diperbolehkan. Terlebih lagi jika yang dicium adalah anak kecil, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat pengasih kepada anak-anak kecil.

Hal ini menjadi pelajaran penting untuk menunjukkan kasih sayang dalam keluarga. Mencium mahram adalah salah satu bentuk kasih sayang, dengan syarat utama aman dari fitnah (tidak disertai syahwat).

Setan senantiasa berusaha menggoda manusia, baik antara sesama laki-laki maupun sesama perempuan, karena setan tidak pernah lalai dari tugasnya. Dalam konteks kasih sayang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kasih sayang kepada putrinya, Fatimah Radhiyallahu ‘Anha, dengan berdiri menyambut, mencium, dan menggandeng tangannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.

Bab Mencium Tangan (Bab 444)

Kajian selanjutnya beralih pada Bab Mencium Tangan (بَابُ تَقْبِيلِ الْيَدِ). Tradisi dan budaya mencium tangan mungkin berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Al-Imam Al-Bukhari membawakan sebuah hadits tentang hal ini.

Hadits dari Abdullah bin Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan bahwa beliau dan para sahabat diutus dalam suatu peperangan. Karena kondisi yang tidak seimbang, pasukan tersebut mundur dari medan musuh. Setelah itu, timbul kekhawatiran bagaimana mereka akan menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena merasa telah lari dari perang. Namun, mundurnya mereka adalah untuk menyusun strategi ulang.

Ketika berjumpa kembali dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang melarikan diri. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Bukan, kalian adalah orang-orang yang kembali (menghadapi musuh).” Mendengar itu, para sahabat segera mencium tangan beliau. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku adalah kelompok kalian.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Hukum Mundur dari Medan Perang

Peristiwa yang dialami para sahabat tersebut berkaitan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ ‎﴿١٥﴾‏ وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ ‎﴿١٦﴾‏

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berjumpa dengan orang-orang kafir yang menyerang kalian dengan berbaris, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) pada hari itu, kecuali berbelok untuk siasat perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya dia kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempat kembalinya adalah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Anfal[8]: 15–16).

Para sahabat yang mundur dari pertempuran karena ketidakseimbangan kekuatan sempat bingung dan khawatir untuk kembali ke Madinah. Mereka berencana tidak kembali agar tidak terlihat sebagai pasukan yang melarikan diri. Kekhawatiran mereka mereda setelah turunnya firman Allah Azza wa Jalla yang membolehkan mundur untuk siasat perang.

Mereka akhirnya kembali pada malam hari. Setelah shalat Subuh, mereka menjumpai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyampaikan kekhawatiran mereka, “Kami adalah pasukan yang melarikan diri, ya Rasulullah.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda: “Kalian adalah pasukan yang akan kembali menyerang musuh.” Beliau menegaskan, “Aku adalah kelompok kalian (tempat kembali kalian untuk menyusun kekuatan).”

Kegembiraan yang meluap atas pengampunan dan penegasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat para sahabat spontan mencium tangan beliau.

Walaupun hadits tentang peristiwa ini dikategorikan dhaif dari segi sanad, terdapat hadits-hadits shahih lain yang menguatkan kebolehan mencium tangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tangan orang shalih. Namun, mencium tangan tidaklah menjadi kebiasaan rutin yang dilakukan para sahabat setiap kali berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sunnah Mencium Tangan Sahabat

Al-Imam Al-Bukhari membawakan atsar (perkataan atau perbuatan sahabat) tentang mencium tangan sahabat sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan.

Atsar Salamah bin Al-Aqwa’

    Abdurrahman bin Razin bercerita, suatu hari mereka melewati Rabadzah, sebuah tempat yang tidak jauh dari Madinah, tempat Salamah bin Al-Aqwa’ Radhiyallahu ‘Anhu tinggal. Salamah bin Al-Aqwa’ adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai pelari cepat dan pernah sendirian menyerang pasukan musuh yang merampas unta Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

    Ketika diberitahu bahwa Salamah bin Al-Aqwa’ ada di sana, mereka segera mendatanginya dan mengucapkan salam. Setelah berbincang, Salamah bin Al-Aqwa’ Radhiyallahu ‘Anhu mengeluarkan kedua tangannya dan berkata, “Dengan kedua tanganku ini, aku telah membaiat Nabi Allah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

    Abdurrahman bin Razin menceritakan, “Dia mengeluarkan dua telapak tangan yang besar dan kuat, seolah-olah telapak tangan unta karena besarnya. Maka kami pun bangkit menuju kedua tangannya dan kami menciumnya.” (Diriwayatkan dalam Al-Adab Al-Mufrad).

    Atsar Anas bin Malik

      Al-Imam Al-Bukhari juga membawakan atsar dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. Seorang murid Anas, Tsabit Al-Bunani, bertanya: “Apakah engkau pernah menyentuh tangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tanganmu?” Anas Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Ya.”

      Mendengar pengakuan tersebut, murid-murid Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu kemudian berebut mencium tangan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. (Diriwayatkan dalam Al-Adab Al-Mufrad, dhaif).

      Mencium tangan orang shalih diperbolehkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh perbuatan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kepada sahabat senior lainnya. Namun, hal itu bukanlah tradisi atau kebiasaan yang rutin dilakukan para sahabat setiap kali berjumpa.

      Larangan Memberikan Tangan untuk Dicium

      Al-Imam Ahmad bin Hanbal pernah menolak ketika Ali bin Abdul Somad At-Thayalisi hendak mencium tangannya. Beliau menarik tangannya dan berkata, “Dari mana kalian mengambil budaya dan tradisi ini?”

      Sebagian ulama menyebutkan bahwa kebiasaan mengulurkan tangan secara sengaja kepada orang lain agar tangannya dicium dilarang oleh ulama terdahulu. Namun, apabila seseorang bersalaman (berjabat tangan), dan orang yang diajak bersalaman tersebut berinisiatif mencium tangan sebagai penghormatan, maka hal itu diperbolehkan.

      Arahan tentang Mencium Tangan:

      Tidak Dijadikan Kebiasaan: Mencium tangan jangan dijadikan ritual atau kebiasaan yang rutin dilakukan. Jika terjadi sesekali atau sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua karena merupakan budaya setempat, hal itu diperbolehkan.

      Menghindari Kesombongan: Mencium tangan tidak boleh menyebabkan orang yang dicium tangannya menjadi sombong (merasa ge-er) atau bahkan marah jika tidak dicium.

      Dasar Penghormatan: Mencium tangan harus didasari karena menghormati ilmu, keshalihan, atau kedudukan seseorang sebagai sesepuh, bukan karena kepentingan duniawi. Hal ini sejalan dengan praktik yang terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak selalu dicium tangannya oleh para sahabat.

      Download MP3 Kajian

      Mari turut membagikan link download kajian tentang “Hukum Ayah Mencium Putrinya” yang penuh manfaat ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga menjadi pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

      Telegram: t.me/rodjaofficial
      Facebook: facebook.com/radiorodja
      Twitter: twitter.com/radiorodja
      Instagram: instagram.com/radiorodja
      Website: www.radiorodja.com

      Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

      Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
      Twitter: twitter.com/rodjatv
      Instagram: instagram.com/rodjatv
      Website: www.rodja.tv


      Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55830-hukum-ayah-mencium-putrinya/